Donderdag 28 Maart 2013

Salah Kaprah Tentang Hajr (Boikot) terhadap Ahlul Bid'ah (Seri 1)

oleh Rayhan Al-bugory Iqbal Rayhan (Catatan) pada 29 Maret 2013 pukul 5:54

Sungguh benar penilaian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang kebanyakan praktek hajr yang tidak sesuai dengan syari’at, sementara mayoritas pelakunya menyangka bahwa mereka telah berbuat keta’atan kepada Allah dengan praktek hajr tersebut, tetapi pada hakekatnya mereka menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsu. Beliau berkata, "Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya, atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan, maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa banyak manusia melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya, tetapi mereka mengira bahwa mereka melakukannya karena Allah." (Majmuu’ al-Fataawa XXVIII/203-210).

Kenyataan yang sangat menyedihkan tatkala kita melihat sebagian saudara kita yang mempraktekan hajr secara membabi buta tanpa didasari dengan kaidah-kaidah yang benar. Bahkan beberapa waktu lalu sampai ada seroang istrinya dipaksa oleh kakak-kakaknya untuk meninggalkan suaminya karena sang suami dianggap sebagai sururi karena telah membaca sebuah buku yang ditulis oleh penulis. Tatkala sang suami tidak rela untuk menceraikan sang istri maka kakak-kakak istrinyapun nekat membawa lari istrinya agar bisa terlepas dari cengkraman suaminya yang dianggap sebagai sururi….

Hingga sedemikian parahkah…???!!!, hingga harus cerai…??!! Padahal anak-anak mereka butuh kasih sayang kedua orang tuanya…???

Sikap-sikap arogan yang semisal dengan ini sering terjadi… Hal-hal seperti ini tidak terjadi kecuali karena muncul salah paham tentang praktek hajr, yaitu praktek hajr dilakukan secara membabi buta tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh para ulama.

Oleh karena itu penulis mencoba membawakan penjelasan para ulama tentang kaidah-kaidah penerapan hajr.. Yang penulis jadikan patokan secara khusus adalah pernyataan-pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam masalah ini, dengan menyertakan pula pernyataan ulama Ahlus Sunnah kontemporer, yaitu Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Sengaja penulis memilih ketiga ulama di atas untuk mendukung perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengingat keilmuan mereka tidak diragukan lagi. Ketiganya adalah ujung tombak dakwah Ahlus Sunnah yang telah berjuang keras dalam menyebarkan dakwah ini. Disamping itu, ketiganya telah meninggal dunia dalam keadaan kaum muslimin ridha terhadap mereka. Mereka juga selamat dari fitnah-fitnah besar di masa hidup mereka. Karena itulah mereka dikenal sebagai para mujaddid (pembaharu) abad ini. Hal ini tentu saja bukan berarti menafikan keilmuan para ulama Ahlus Sunnah yang lain. Terkadang penulis juga mengutip perkataan selain ketiga ulama di atas.

Oleh karenanya penulis mengaharap para pembaca sekalian membaca perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan teliti sebelum membaca kaidah-kaidah tersebut. Akan tetapi sebelumnya penulis menyampaikan beberapa muqoddimah yang penulis anggap penting untuk diketahui sebelum masuk dalam pembahasan tentang kaidah-kaidah hajr


Muqoddimah penting :

Pertama : Menjaga Persatuan Merupakan Salah Satu Pokok Penting Dalam Syari'at

Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan persatuan di antara sesama mukminin merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allah semata. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.

Janganlah seorang mukmin menganggap remeh kenikmatan ini. Janganlah ia menganggap bahwa mencapai persatuan dan persaudaraan merupakan perkara yang mudah. Janganlah ia menyangka bahwa tersenyumnya seorang muslim kepada muslim lainnya tatkala bersua adalah perkara yang mudah. Sebab sekiranya Allah tidak menyatukan hati mereka maka yang terjadi adalah saling membenci dan menjatuhkan.

‘Abdah bin Abi Lubabah berkata, “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu dia menjabat tanganku, seraya berkata, 'Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan'.”

‘Abdah melanjutkan ceritanya, "Maka aku pun  berkata, 'Ini adalah perkara yang mudah.' Mujahid lantas menegur, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allah berfirman:
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)

Lanjut ‘Abdah, “Aku pun mengakui bahwa Mujahid memiliki pemahaman yang lebih baik dibandingkan aku.” (Tafsir At-Thabari (X/36), Hilyatul Auliya’ (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubabah, dari Mujahid, dari Ibnu 'Abbas, dari Rasulullah ` dengan sanad yang marfu’, dalam Taariikh Waasith, pada biografi 'Abdullah bin Sufyan Al-Wasithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena beberapa syahid-nya. Lihat as-Shahiihah (V/10) hadits 200).)

Persatuan dan persaudaraan merupakan karunia yang sangat besar dari Allah kepada para hamba-Nya. Berkata Ibnu Taimiyyah, “Dan hal ini merupakan pokok yang sangat agung yaitu bersatu dalam berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak bercerai berai. Hal ini termasuk pokok-pokok Islam yang terbesar…” (Majmu’ Fatawa XXII/359)

Beliau juga berkata, “Dan kalian mengetahui bahwa merupakan kaidah agung yang merupakan inti dari agama adalah mempersatukan hati-hati, bersatunya kalimat, dan mendamaikan diantara yang bersengketa…” (Majmu’ Fatawa XXVIII/51)

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda

الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Persatuan merupakan rahmat dan perpecahan merupakan adzab (HR Ahmad IV/278 no 18472 dan IV/375 no 19369, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 667)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “…Dan hendaknya seseorang memandang dan merenungkan tentang syari’at Islam ini, sesungguhnya syari’at ini datang dengan membawa perkara-perkara yang menimbulkan persaudaraan dan kecintaan, serta melarang dari semua perkara yang menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Banyak ibadah yang disyari’atkan adanya perkumpulan seperti sholat-sholat (secara berjama’ah). Dan banyak perkara dilarang oleh Allah karena perkara-perkara tersebut menimbulkan permusuhan dan kebencian…” (Lihat akhir dari risalah “Haul al-Ijtimaa’ wal I’tilaaf wa tark at-Tafarruq walikhtilaaf”(sebagaimana yang termaktub dalam kitabul ‘Ilmi karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin”).

Oleh karena itu kita dapati bahwasanya syari'at sangat menjaga nilai persatuan, sekaligus berusaha mewujudkan persatuan dan persaudaraan dengan berbagai macam cara. Bahkan sampai dalam perkara-perkara yang dianggap ringan dan sepele.

Diantaranya adalah disyari’atkannya mengangkat amir (pemimpin) tatkala safar (melakukan perjalanan) untuk menghindari timbulnya silang pendapat. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ

“Jika tiga orang keluar untuk melakukan safar maka hendaknya mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai amir (pimpinan).” (HR Abu Dawud III/36 no 2608, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat as-Shahiihah (III/314) no (1322))
Dengan adanya pemimpin dalam safar maka semua permasalahan yang timbul dalam safar dapat terselesaikan dengan baik. Tidak adanya amir akan memudahkan munculnya perselisihan, terlebih lagi jika para musafir tersebut banyak jumlahnya.

Begitu juga mengucapkan dan menyebarkan salam. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوْا السَّلامَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukan kepada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR Muslim (I/74) no (54) dan at-Tirmidzi (IV/274) no (1833)

Demikian pula dengan senyum kepada sesama saudara. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Janganlah engkau meremehkan sedikit pun kebaikan meskipun hanya sekedar jika engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang cerah.” (HR Muslim (IV/2026) no (2626), Abu Dawud (IV/350) no (5193), dan at-Tirmidzi (V/52) no (2688).

Begitu juga dengan disyari’atkannya menjenguk orang sakit, menjawab salam, membalas orang yang mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) tatkala bersin, dan demikian banyaknya perkara-perkara yang disyari’atkan demi menjalin persatauan dan persaudaraan.

Sebaliknya, syari’at juga mengharamkan segala perkara yang mengantarkan kepada perpecahan dan perselisihan.

Diantaranya adalah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلاَ يَبِيْعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطِبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ

“Janganlah seseorang membeli di atas pembelian saudaranya. Dan janganlah ia meminang (seorang wanita) di atas pinangan saudaranya.” (HR Al-Bukhari (II/752) no (2033); (II/970) no (2574) dan Muslim (II/1032) no (1412)

Kedua perkara di atas tidaklah diharamkan melainkan karena menimbulkan permusuhan, sekaligus merusak persaudaraan dan persatuan di antara kaum mukminin.

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam  juga bersabda,

إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُوْنَ صَاحِبِهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ يَحْزُنُهُ
“Jika kalian berjumlah tiga orang maka janganlah dua dari kalian berbicara sambil berbisik-bisik tanpa mengajak orang yang ketiga, karena hal itu akan membuatnya sedih (gundah).”

Yang hal ini bisa menimbulkan keretakan pada persaudaraan orang ketiga dengan kedua sahabatnya  yang sedang berbisik-bisik.

Rasulullahshallahu ‘alaihi wa sallam   juga bersabda

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانَا

“Waspadalah kalian dari (1) prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta, dan janganlah (2) ber-tahassus (mencari-cari kesalahan saudaranya melalui perantaraan kabar), (3) ber-tajassus (mencari-cari kesalahan saudaranya dengan mengamati gerak-geriknya), (4) saling hasad, (5) saling membelakangi, serta (6) saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.” (HR Muslim (IV/1718) no (2184).

Perhatikanlah, keenam perkara di atas diharamkan karena merusak tali persaudaraan dan persatuan. Karena itulah di akhir hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk saling bersaudara. Dan masih terlalu banyak hal-hal yang diharamkan (seperti ghibah dan namimah dan yang lainnya) demi menjaga persatuan dan persaudaraan antara kaum muslimin..

Oleh sebab itu syari’at memberi ganjaran yang sangat besar bagi orang yang berusaha menyatukan kaum muslimin yang sedang bersengketa.

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Ayyub,

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى عَمَلٍ يَرْضَاهُ اللهُّ عَزَّ وَجَلَّ أَصْلِحْ بَيْنَ النَّاسِ إِذَا تَفَاسَدُوْا وَحَبِّبْ بَيْنَهُمْ إِذَا تَبَاغَضُوْا

“Maukah aku tunjukan kepadamu sebuah amalan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Perbaikilah (hubungan) di antara manusia jika mereka saling merusak, dan buatlah mereka saling mencintai jika mereka saling membenci.” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jam asy-Syuyuukh (I/250), al-Mu’jam al-Kabiir (VIII/257) no (7999), Abu Dawud at-Thayalisi dalam Musnad-nya (I/81) no (598), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan (VII/490) no (11094). Syaikh al-Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits hasan li ghairihi. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no (2820))

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوْا بَلَى قَالَ إِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
“Maukah kukabarkan kepada kalian perkara yang lebih afdhal dibandingkan derajat puasa, shalat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Perbaikilah (hubungan) di antara sesama kalian. Dan rusaknya hubungan adalah pencukur.” (HR. Abu Dawud (IV/280) no (4919). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Maksudnya adalah mencukur dan menghilangkan agama. (Lihat ‘Aunul Ma’buud (XIII/178)

Bahkan syari’at membolehkan berdusta dalam rangka mendamaikan dua orang yang sedang bersengketa, demi terjalinnya persatuan dan persaudaraan antara sesama mukminin.

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِيْ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرا أَو يَقُوْلُ خَيْرًا

“Bukanlah berdusta orang yang mendamaikan diantara manusia (yang bersengketa) atau menyampaikan kebaikan (dalam rangka mendamaikan) atau berkata kebaikan ” (HR Al-Bukhari II/958 no 2546, Muslim IV/2011 no 2605, dan At-Thirmidzi IV/331 no 1938)

لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ

“Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga perkara: (1) seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya ridha, (2) berdusta tatkala perang, dan (3) berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) di antara manusia”  (HR At-Thirmidzi IV/331 no 1939 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani kecuali lafal (Untuk membuat istrinya ridho))

Persatuan, saling bersaudara, dan saling mencintai antara sesama kaum muslimin merupakan hukum fundamental yang dibangun di atas dalil yang sangat banyak. Syaikh Salim al-Hilali berkata, “Mengingat hal ini merupakan hukum asal, maka sikap saling menjauhi dan saling memutuskan hubungan (hajr) adalah terlarang. Banyak dalil yang mengharamkan hal tersebut.” (Bahjatun Naazhiriin (III/108).


Kedua : Hukum Asal Hajr Adalah Dosa Besar

Hajr adalah antonim dari washl (menyambung). (Lisaanul ‘Arab (V/250). Tahaajur (saling melakukan hajr) maknanya adalah taqaathu', yaitu saling memutuskan hubungan.( Mukhtaar ash-Shihaah (I/288).

Imam Ibnu Hajr berkata, “Hajr adalah seseorang tidak berbicara dengan yang lain tatkala bertemu.” (Fat-hul Baari (X/492)

Imam al-‘Aini berkata, “Hajr adalah tidak berbicara dengan saudaranya sesama mukmin tatkala bertemu, dan masing-masing dari keduanya berpaling dari yang lain tatkala berkumpul.” 'Umdatul Qaari (XXII/141).

Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata, “Hukum asal meng-hajr sesama muslim adalah haram, bahkan termasuk dosa besar jika lebih dari tiga hari.” Majmu’ Fatawaa Ibnu 'Utsaimin (III/16), soal no (385).

Diantara dalil-dalil yang menunjukan bahwa hukum asal dari hajr adalah dosa besar adalah sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ هَجَرَ أَخَاه سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ

“Barangsiapa yang meng-hajr saudaranya selama setahun maka ia seperti menumpahkan darah saudaranya tersebut.” HR Abu Dawud (IV/279) no (4915). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (II/599) no (928).

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاه فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ
"Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Barangsiapa yang meng-hajr lebih dari tiga hari lalu meninggal maka ia masuk neraka." HR Abu Dawud (IV/279) (4914), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.

فَإِنْ مَاتَا عَلَى صِرَامِهِمَا لَمْ يَجْتَمِعَا فِي الْجَنَّةِ أَبَدًا

“Jika mereka berdua (yang saling meng-hajr) meninggal dalam keadaan saling meng-hajr maka keduanya tidak akan berkumpul di surga selamanya” HR. Ahmad (IV/20) no (16301, 16302), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (I/145) no (402), al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab (V/269) no (6620), dan selainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (III/249) no (1246).

Pantaslah kiranya sikap meng-hajr seorang muslim selama lebih dari tiga hari termasuk dosa besar, mengingat hajr sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang menyeru kepada persatuan dan persaudaraan.

Islam adalah nasihat, sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

"Agama ini adalah nasehat." HR Muslim (I/74) no (55).

Sedangkan tidak diragukan lagi bahwa hajr menafikan nasehat. Sebab dua orang yang saling menghajr tidak mungkin bisa saling menasehati. (Al-Hajr fil Kitaab was Sunnah, hal. 142). Hajr juga menghilangkan hak-hak seorang muslim, sehingga pelakunya tidak memberi salam kepada selainnya, begitu juga sebaliknya. Jika salah satu dari dua orang yang saling meng-hajr menderita sakit, maka yang lain tidak mengunjunginya. Masih banyak lagi hak-hak lainnya yang menjadi terabaikan.


Ketiga : Penerapan Hajr Adalah Keluar Dari Hukum Asalnya –Yaitu Terlarang-

Kendati demikian, terkadang boleh -bahkan disyari’atkan- bagi seorang muslim untuk keluar dari hukum asal ini, yaitu melakukan hajr dan boikot kepada muslim lainnya, apabila kondisinya memang mengharuskan demikian. Sebagaimana halnya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr Ka’b bin Malik dan kedua sahabatnya karena mereka tidak ikut serta dalam perang Tabuk tanpa alasan yang syar’i. Begitu juga dengan sikap para Salaf yang meng-hajr ahli bid’ah dan men-tahdzir (memperingatkan umat dari) mereka, agar umat tidak terkena dampak buruk mereka.

Namun perlu diperhatikan, mengingat penerapan hajr adalah keluar dari hukum asalnya –yaitu terlarang- maka seseorang tidak boleh keluar dengan hukum asal kecuali disertai dengan dalil dan argumen yang kuat. Sebab kaidah syari'at menyatakan bahwa kita tidak boleh keluar dari hukum asal melainkan dibarengi oleh dalil yang kuat. Terlebih lagi hukum asal tersebut dibangun di atas dalil yang sangat banyak, baik dalil-dalil yang menunjukan wajibnya persatuan dan persaudaraan, maupun dalil-dalil yang menunjukan haramnya hajr. Oleh karenanya :


Keempat : Praktek Hajr Tidak Boleh Dibangun Diatas Persangkaan

Apabila seseorang keluar dari hukum asal tersebut dengan argumen yang tidak kuat, atau bahkan masih berupa prasangka semata, berarti ia telah melawan sekian banyak dalil yang mendukung hukum asal di atas.

Yang sangat menyedihkan, di tanah air kita banyak sekali terjadi praktek hajr yang tidak dibangun di atas dalil yang jelas. Bahkan banyak penerapan hajr yang hanya dibangun di atas prasangka belaka. Misalnya tuduhan-tuduhan terhadap saudaranya bahwa saudaranya tersebut telah melakukan demikian dan demikian, atau saudaranya tersebut memiliki pemikiran-pemikiran tertentu, namun hakikatnya tidaklah demikian. Terkadang mereka membangun hajr dan tahdzir karena mendapatkan informasi dari sebagian sahabat mereka atau sebagian murid mereka dengan dalih bahwa sahabat atau murid mereka yang membawa khobar tersebut adalah tsiqoh sehingga mereka tidak perlu lagi untuk tastabbut, namun kenyataan yang banyak terjadi ternyata khobar yang dibawa oleh sahabat atau murid mereka tidaklah sesuai dengan kenyataan, atau telah dibumbu-bumbui dengan penyedap yang meracuni kehormatan saudaranya.

Kita tidak mengingkari bahwa memang bisa jadi sahabat dan murid mereka itu jujur dan tidak berdusta, namun perkataan bahwa mereka adalah tsiqoh (sebagaimana istilah dalam ilmu hadits yang artinya jujur dan hapalannya kuat) maka perlu dicek kembali. Karena terlalu banyak orang yang jujur namun salah dalam menukil, salah dalam memberi khobar karena hafalannya yang lemah atau karena buruknya pemahaman. Berkata Ibnu Taimiyah, “Banyak penukil (penyampai berita) bukanlah maksud mereka adalah berdusta, akan tetapi megetahui hakikat (maksud) perkataan-perkataan menusia tanpa menukil langsung lafal (yang mereka ucapkan) dan juga tanpa menukil segala yang menunjukan maksud mereka terkadang sulit bagi sebagian orang dan tidak bisa dicapai oleh sebagian yang lain”  (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah VI/303)

As-Subki berkata, “Banyak aku lihat orang yang mendengar sebual lafal kemudian memahaminya tidak sebagaimana mestinya” (Tobaqoot As-Syafi’iyah Al-Kubro II/18).

Seseorang terkadang memahami perkataan seseorang sesuai dengan pemikiran yang bercokol di kepalanya sebelum mendengar perkataan tersebut. Apalagi jika timbul niat yang jelek dalam diri seseorang maka perkataan yang ia dengar akan ia bawakan pada makna yang buruk.

Sungguh indah perkataan seseorang, “Kebanyakan orang selalu lebih cepat berburuk sangka daripada berprasangka baik…maka janganlah engkau membenarkan semua yang dikatakan (yang dikabarkan) meskipun engkau mendengarnya dari mulut seribu orang hingga engkau mendengar langsung dari orang yang menyaksikannya langsung dan janganlah engkau membenarkan orang yang menyaksikannya langsung hingga engkau mengecek (memastikan) bahwasanya orang tersebut terlepas dan bersih dari tujuan-tujuan tertentu dan hawa nafsu, oleh karena itu Allah melarang kita dari berburuk sangka dan menjadikan prasangka buruk merupakan sebuah dosa yang tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran” (lihat risalah Qowa’id fit ta’amul ma’al ulama’ hal 129 karya Abdurrahman bin Mu’alla Al-Luwaihiq yang direkomendasi oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahullah)

Berkata Syaikh Bin Baaz, “Kebanyakan dari perkataan yang dikatakan (tuduhan dan celaan-pen) adalah tidak ada hakikatnya (tidak benar), akan tetapi merupakan persangkaan-persangkaan yang keliru yang dihiasi oleh syaitan pada para pengucapnya, dan syaitan memperdaya mereka dengan hal ini” (Majmu’ fatawa wa maqoolaat mutanawwi’ah jilid 7 yang berjudul uslub an-naqd baynad du’at wat ta’qiib ‘alaihi point kelima)

Yang lebih parah lagi jika buruknya pemahaman dan buruk sangka dibumbui dengan kedustaan, maka laa haulaa walaa quwwata illa billah. Sebagian orang tatkala tidak menemukan celah untuk mencela saudaranya, menjatuhkan saudaranya, atau agar saudaranya dikatakan mubtadi’ maka terpaksa ia harus berdusta. Sebagian yang lain meminta fatwa dari salah seorang syaikh dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan lama yang telah ditinggalkan oleh saudara-saudaranya tersebut, maka munculah tahdzir dari syaikh tersebut terhadap teman-temannya.

Bukankah kita semestinya gembira kalau ada saudara-saudara kita yang sadar…???, bukankah banyak diantara para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam yang dahulunya terjatuh dalam kesyirikan dan kekufuran sebelum datangnya Islam…???. Mengapa kita rela berdusta agar saudara-saudara kita sesama salafi ditahdzir….???. Dusta yang seharusnya dibolehkan untuk mendamaikan dan menyatukan kaum muslimin malah sebaliknya digunakan untuk memecah belah kaum muslimin. Berkata Abu Ishaaq Al-Juzjaanii, كَفَى بِالْكَذِبِ بِدْعَةً “Cukuplah kedustaan itu sebagai bid’ah” (Ahwaalur rijaal hal 22)


Kelima : Hjar Tidak Boleh Diterapkan Pada Perkara-Perkara Yang Merupakan Khilaf Diantara Para Ulama

Kenyataan yang sangat menyedihkan, ternyata kita dapati sebagain saudara-saudara kita menerapkan hajr pada perkara-perkara yang sebenarnya tidak boleh ada pengingkaran, apalagi sampai tahapan tahdzir dan hajr. Seperti perkara-perkara yang merupakan masalah ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para ulama.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian orang yang menerapkan hajr hanya karena permasalahan pribadi, lalu ia kait-kaitkan dengan manhaj. Masalah-masalah yang menyangkut keduniaan digembar-gemborkan dengan label manhaj. Mereka ini menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsunya. Selanjutnya setan menghiasi amalan mereka tersebut, sehingga mereka menyangka bahwa perbuatan mereka adalah ibadah.

Sebagian lagi menerapkan hajr tanpa kaidah dan batasan-batasan. Tanpa menimbang maslahat dan mudharat. Sehingga mereka terjatuh dalam kemaksiatan dan menyelisihi hukum asal.

Penerapan hajr secara membabi buta, tanpa menimbang mudharat dan maslahat, merupakan suatu kemaksiatan Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata,

"…atau tidak dapat dirajihkan antara kerusakan dan maslahat, maka yang lebih dekat (kepada kebenaran) adalah dilarangnya penerapan hajr, mengingat keumuman sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِىْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam." Majmuu’ Fataawa Syaikh Ibnu 'Utsaimin (III/17) soal no (385). Selain karena keumuman hadits tersebut juga karena hukum asal dalam berdakwah adalah dengan kelembutan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama Salaf.

Terlebih lagi jika penerapan hajr tersebut jelas-jelas menimbulkan kerusakan, fitnah, terhambatnya dakwah, dan lain-lain, maka tentunya lebih haram lagi.

Praktek hajr yang tidak sesuai syari'at efeknya sangat berbahaya bagi pelakunya, karena hukum asal hajr adalah dosa besar. Oleh karena itu barangsisapa yang ingin menerapkan hajr maka hendaknya ia benar-benar di atas bayyinah bahwa ia memang berhak untuk melakukan hajr.


Keenam : Senjata Utama Setan Terhadap Ahli Tauhid Adalah Mengadu Domba di antara Mereka

Sesungguhnya semangat setan untuk mencerai-beraikan barisan ahli tauhid (Ahlus Sunnah) sangatlah besar dibandingkan semangat mencerai-beraikan barisan kaum muslimin pada umumnya. Sebab, jika orang-orang yang bertauhid bercerai-berai maka dakwah tauhid pun akan terhambat dan terbengkalai. Adapun ahli bid’ah, maka persatuan mereka dibangun di atas kesesatan, sehingga justru itulah yang diharapkan oleh setan. Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang persatuan mereka tegak di atas kebenaran. Hal ini tentu saja sangat dibenci oleh setan.

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ

“Sesungguhnya setan sudah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat. Namun ia tidak putus asa untuk mengadu domba di antara mereka.” HR. At-Tirmidzi (IV/330) no (1937). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (IV/140) no (1608). Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/313) no (14406); (III/354) no (14858); (III/366) no (14982); (III/384) no (15158); dan Abu Ya’la (IV/73) no (2095); (IV/114) no (2154). Di dalam lafazh Imam Muslim (IV/2166) no (2812) terdapat tambahan: "Pada jazirah Arab."

Al-Mubarakfuri berkata, “Yang dimaksud dengan orang-orang yang shalat adalah orang-orang yang beriman, sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam: 'Aku melarang kalian dari membunuh orang-orang yang shalat.' Kaum mukminin dinamakan orang-orang yang shalat karena shalat adalah amalan yang paling mulia dan merupakan perbuatan yang paling tampak dalam menunjukkan keimanan.” Tuhfatul Ahwaadzi (VI/57).

Di dalam al-Ihsaan fi Taqriib Shahiih Ibn Hibbaan hadits tersebut dibawakan di bawah judul:

ذِكْرُ الأَخْبَارِ عَنْ تَحْرِيْشِ الشَّيَاطِيْنِ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عِنْدَ إِيَاسِهَا مِنْهُمِ عَنِ الإِشْرَاكِ بِاللهِ جَلَّ وَعَلاَ
“Penyebutan kabar-kabar (hadits-hadits) bahwa setan-setan mengadu domba di antara kaum muslimin tatkala mereka telah putus asa dari menjerumuskan kaum muslimin untuk melakukan kesyirikan” Al-Ihsaan (XIII/269).

Jika setan melihat kaum muslimin berada di atas tauhid dan putus asa dari menjerumuskan mereka ke dalam kesyirikan, maka ia masih tidak putus asa untuk berbuat “tahrisy” di antara mereka. Yang dimaksud dengan tahrisy adalah membuat hati saling berselisih dan merusak hubungan. Sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi di dalam Riyaadhush Shaalihiin.

Imam An-Nawawi berkata, “Setan berusaha mengadu domba di antara orang-orang yang beriman dengan permusuhan, kebencian, peperangan, fitnah, dan yang semisalnya.” Al-Minhaaj Syarh Shahiih Muslim (XVII/156).

Maka hendaknya para saudaraku yang berjuang dalam mendakwahkan tauhid agar berhati-hati dan tidak terjerumus dalam perangkap setan yang ingin merusak barisan mereka. Sesungguhnya senjata pamungkas setan tersebut sangat berbahaya dan ampuh. Namun barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka sesungguhnya tipu daya setan adalah lemah.

Setan menghiasi amalan sebagian orang yang berafiliasi kepada Ahlus Sunnah ketika mencoba menasehati saudaranya yang menurutnya berbuat salah, dengan menerapkan hajr yang tidak dilandasi dengan kaidah yang benar. Akibatnya justru menyebabkan perpecahan yang berkepanjangan di kalangan Ahlus Sunnah dan berdampak sangat buruk bagi penyebaran dakwah tauhid.


Diambil dari tulisan Ust: Abdul muhsin firanda.MA

Dinsdag 26 Maart 2013





“ketika wajah ini penat memikirkan dunia,maka berwuduklah..
ketika tangan ini letih menggapai cita-cita,maka berdoalah..
ketika bahu tak kuasa memikul amanah,maka bersujudlah.
ikhlaskan semuanya dan dekatlah Allah s.w.t.
agar tunduk disaat yang lain angkuh.
agar teguh disaat yang lain runtuh.
agar tegar disaat yang lain terlempar.
agar tenang disaat yang lain risau memikirkannya..”

Assalamualaikum wahai bakal penghuni syurga yang insya Allah akan menemuiNya dengan penuh cahaya kebanggaan..Apa khabar iman para mujahid?Dan apa khabar jiwa-jiwa  bidadari syurga?Alhamdulillah..lakarkan kesyukuran kita semua pada hadrat illahi..di sini kita dapat bersama,menikmati lagi curahan ilmu yang dapat sedikit sebanyak ana kongsikan sebagai  hamba yang dhaif..Tentu sahabat-sahabat bertanya-tanya..ada apa dengan tajuk tu? Terus terang ana katakan.tajuk itu memeberi seribu satu persoalan dan jawapan bagi kita..

Ku biar kalam berbicara..menghurai maksud dijiwa.agar mudah ku mengerti,segala yang terjadi..sudah suratan illahi..ana ingin bicara tentang SYURGA!

Menelusuri perjalanan dalam meraih redhaNya..pernahkah anda menangis? Jatuh terduduk menangis hiba? Difitnah? Dimaki? Dan kadang-kadang anda merasakan anda langsung tak layak untukNya,,?Wahai mujahid dan mujahidah yang selalu ana rindukan..

Coba anda renung kisah ini..moga jadi penenang luka dihati dalam menghadapi lelah di jalan dakwah…moga Allah kasih..

Ustadz, dulu ana merasa semangat dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murabbinya di suatu malam.
Sang murabbi hanya terdiam, mencuba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’unya. “Lalu, apa yang ingin …antum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.
“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana sendiri saja…” jawab mad’u itu.
Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
“Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat rapuh. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang reput bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?” tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.
Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
“Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?” sang murabbi mencuba memberi kata.
“Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan ganas datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?” serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad’u.
Tak ayal, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?” Pertanyaa ini menghujani jiwa sang mad’u. Ia hanya mengangguk.
“Bagaimana bila ternyata kereta yang antum pandu dalam menempuh jalan itu temyata rosak? Antum akan berjalan kaki meninggalkan kereta itu tersadai di jalan, atau mencuba memperbaikinya?” tanya sang murabbi lagi.
Sang mad’u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, “Cukup ustadz, cukup. Ana sedar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat mendapat penghormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan…”
“Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana”, sang mad’u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
Sang murabbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.”
“Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.”
“, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka bilakah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar.
“Kita bukan sekadar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafi rpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.”
“Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!”
Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
“Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kedudukan ana yang lemah ini?” sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
“Siapa bilang kedudukan antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kemampuan yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!” sahut sang murabbi.
“Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri hati) antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.”
Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad’u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad’unya yang lain dari asyik tidurnya.
Malam itu, sang mad’u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan dari Antum/antunna yang membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap istiqamah di jalan dakwah ini..Dalam samudera tarbiyah ini..
Sobat fillah..ada atau tidaknya kita dalam menegakan kalimat Allah, kalimat Allah akan selalu di tegakan oleh sebagian orang. di saat yang lain lalai, di saat yang lain acuh, di saat yang lain sibuk mencari dan menggali kesalahn dan aib saudaranya, di saat yang lain lebih menikmati mudanya dengan kenikmatan dunia. ingatlah di situ pula ada sekelompok pemuda yang selalu ingat, yang selalu cinta, selalu peduli dengan perjalanan dakwah yang penuh kerikil dan duri, yang di hiasi panas dan letih.
Allahuakbar! Kerana kita perindu SYURGA!...wassalam dariqbal rayhan
        
          Apa khabar iman?
         Masihkah secerah sinar taburan bunga d langit?
         Masih mmpu melawan nafsu yg sering mgajak kearah maksiat?

Ya Allah..andainya aku lemah dlm mempertahankan agamaMu,selimutilah aku dgn sutera cintaMu.agar aku sentiasa rindu padaMu.peluklah aku dgn pelukan rahmatMu agar aku sentiasa dalam ksih sayangMu.izinknlah aku mneguk barakah dariMu agar aku tak pernah haus kepada cinta len selain daripda Pemilik CintaNya!



Assalamualaikum.,salam tulus dari hamba yang selalu khilaf dalam perlakuannya..selalu khilaf dalam budi bicaranya..selalu khilaf dalam mencari redhaNya…Sekedar luahan dari hati yang menangis.

Renunglah wahai diri,
Muhasabah apa yang sudah terjadi,
Jangan kau pernah sesali,
Dengan apa yang berlaku hari ni,
Tuhan ingin sekali menguji,
Keimanan dan ketaqwaanmu dalam hati…
Renunglah wahai hati,
Tatkala jiwamu semakin sepi,
Dengan apa yang kau akan isi,
Adakah dengan molekul cinta insani,
Atau dengan redha illahi?
Renunglah wahai nafsu,
Tarbiahkan pada agama yang tertinggi,
Agar dapat menuju ke syurga akhirat nanti,
Dengan kebanggaan yang abadi…

Buat muslimah



1. Bulu kening.
' Rasullulah melaknat perempuan yang mencukur atau menipiskan bulu kening atau meminta supaya dicukurkan bulu kening – Petikan dari Hadis Riwayat Abu Daud Fi Fathil Bari.

2. Kaki (tumit kaki) semacam hantu loceng.
Dan janganlah mereka (perempuan) membentakkan kaki (atau mengangkatnya) agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan – Petikan dari Surah An-Nur Ayat 31.
Keterangan : Menampakkan kaki dan menghayunkan atau melenggokkan badan mengikut hentakan kaki terutamanya pada mereka yang mengikatnya dengan loceng, sama juga seperti pelacur di zaman jahiliyah.

3. Wangian
Siapa sahaja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zina dan tiap-tiap mata ada zinanya terutamanya hidung yang berserombong kapal, kata orang sekarang hidong belang – Petikan dari Hadis Riwayat Nasaii, Ibn Khuzaimah dan Hibban.

4. Dada.
Hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kain tudung hingga menutupi bahagian hadapan dada-dada mereka – Petikan dari Surah An-Nur Ayat 31.

5. Gigi.
Rasullulah melaknat perempuan yang mengikir gigi atau meminta supaya dikikirkan giginya – Petikan dari Hadis Riwayat At-Thabrani, Dilaknat perempuan yang menjarangkan giginya supaya menjadi cantik, yang merubah ciptaan Allah – Petikan dari Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim.

6. Muka dan leher.
Dan tinggallah kamu (perempuan) di rumah kamu dan janganlah kamu menampakkan perhiasanmu seperti orang jahilliah yang dahulu.
Keterangan : Bersolek (make-up) dan menurut Maqatil sengaja membiarkan ikatan tudung yang menampakkan leher seperti orang Jahilliyah.

7. Muka dan Tangan.
Asma Binte Abu Bakar telah menemui Rasullulah dengan memakai pakaian yang tipis. Sabda Rasullulah:
“Wahai Asma! Sesungguhnya seorang gadis yang telah berhaid tidak boleh baginya menzahirkan anggota badan kecuali pergelangan tangan dan wajah saja,” – Petikan dari Hadis Riwayat Muslim dan Bukhari.

8. Tangan.
Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya – Petikan dari Hadis Riwayat At Tabrani dan Baihaqi.

9. Mata.
Dan katakanlah kepada perempuan mukmin hendaklah mereka menundukkan sebahagian dari pemandangannya – Petikan dari Surah An Nur Ayat 31.
Sabda Nabi Muhamad SAW;
“Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pandangan yang pertama sahaja manakala pandangan seterusnya tidak dibenarkan hukumnya haram,” – Petikan dari Hadis Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi.

10. Mulut (suara).
Janganlah perempuan-perempuan itu terlalu lunak dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada perasaan serong dalam hatinya, tetapi ucapkanlah perkataan-perkataan yang baik – Petikan dari Surah Al Ahzab Ayat 32.
Sabda Rasulullah SAW;
“Sesungguhnya akan ada umatku yang minum arak yang mereka namakan dengan yang lain, iaitu kepala mereka dilalaikan oleh bunyi-bunyian (muzik) dan penyanyi perempuan, maka Allah akan tenggelamkan mereka itu dalam bumi,” – Petikan dari Hadis Riwayat Ibn Majah.

11. Kemaluan.
Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kehormatan mereka – Petikan dari Surah An Nur Ayat 31.
Apabila seorang perempuan itu solat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya, maka masuklah ia ke dalam Syurga daripada pintu-pintu yang ia kehendakinya – Hadis Riwayat Riwayat Al Bazzar.
Tiada seorang perempuan pun yang membuka pakaiannya bukan di rumah suaminya, melainkan dia telah membinasakan tabir antaranya dengan Allah – Petikan dari Hadis Riwayat Tirmidzi, Abu Daud dan Ibn Majah.

12. Pakaian.
Barangsiapa memakai pakaian yang berlebih-lebihan terutama yang menjolok mata , maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan di hari akhirat nanti – Petikan dari Hadis Riwayat Ahmad, Abu D , An Nasaii dan Ibn Majah.
Petikan dari Surah Al Ahzab Ayat 59. Bermaksud:
“Hai nabi-nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka memakai baju jilbab (baju labuh dan longgar) yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali. Lantaran itu mereka tidak diganggu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Sesungguhnya sebilangan ahli Neraka ialah perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang yang condong pada maksiat dan menarik orang lain untuk melakukan maksiat. Mereka tidak akan masuk Syurga dan tidak akan mencium baunya,” – Petikan dari Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim.
Keterangan : Wanita yang berpakaian tipis/jarang, ketat/ membentuk dan berbelah/membuka bahagian-bahagian tertentu.


13. Rambut.
“Wahai anakku Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam Neraka adalah mereka itu di dunia tidak mahu menutup rambutnya daripada dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya,” – Petikan dari Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim.
 
 
 

Maandag 25 Maart 2013


BOLEH KO, SUKA SAMA LAWAN JENIS

Cetak
  love-youCinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga.

Cinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga. Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i? Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran. Berikut adalah beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.

Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina

Allah Ta’ala berfirman,

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’ [17] : 32)
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.
Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.
Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.

Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan

Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis. Allah Ta’ala berfirman,

Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24] : 30 )
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,


Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24] : 31)
 

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahromnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.”
Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis?
 

Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30 (yang artinya) “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” yaitu dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya-

Allah Memerintahkan kepada Wanita untuk Menutup Auratnya

Allah Ta’ala berfirman,

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59)

 
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31).
Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Atho’ bin Abi Robbah bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim)

 

Agama Islam Melarang Berduaan dengan Lawan Jenis

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Termasuk yang Dilarang

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
 

An Nawawi –seorang ulama besar Syafi’iyyah- berkata,
”Makna hadits ini adalah bahwa anak Adam telah ditetapkan bagian untuk berzina. Di antaranya ada yang berbentuk zina secara hakiki yaitu memasukkan kemaluan kepada kemaluan yang haram. Di samping itu juga ada zina yang bentuknya simbolis (majas) yaitu dengan melihat sesuatu yang haram, mendengar hal-hal zina dan yang berkaitan dengan hasilnya; atau pula dengan menyentuh wanita ajnabiyah (wanita yang bukan istri dan bukan mahrom) dengan tangannya atau menciumnya; atau juga berjalan dengan kakinya menuju zina, memandang, menyentuh, atau berbicara yang haram dengan wanita ajnabiyah dan berbagai contoh yang semisal ini; bisa juga dengan membayangkan dalam hati. Semua ini merupakan macam zina yang simbolis (majas). Lalu kemaluan nanti yang akan membenarkan perbuatan-perbuatan tadi atau mengingkarinya. Hal ini berarti ada zina yang bentuknya hakiki yaitu zina dengan kemaluan dan ada pula yang tidak hakiki dengan tidak memasukkan kemaluan pada kemaluan, atau yang mendekati hal ini. Wallahu a’lam” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim)
 

Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram. (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)

Meninjau Fenomena Pacaran

Setelah pemaparan kami di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti ada perbuatan-perbuatan yang dilarang di atas. Kita dapat melihat bahwa bentuk pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu billahi min dzalik-. Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!
Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini!

Mustahil Ada Pacaran Islami

Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nazhor (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat. (Diambil dari buku Sutra Asmara, Abu Umar Basyir)

Pacaran Mempengaruhi Kecintaan pada Allah

Ibnul Qayyim menjelaskan,
”Kalau orang yang sedang dilanda asmara itu disuruh memilih antara kesukaan pujaannya itu dengan kesukaan Allah, pasti ia akan memilih yang pertama. Ia pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.

Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah

Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”

Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya.

Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan

renungan ntuk yang Pacaran

Untuk Kalian yang Pacaran                 

 Haruskah kita pacaran? Haruskah kita memiliki seorang kecengan? Sebuah tradisi baru di muka bumi ini yang tampaknya telah menjadi sebuah kewajiban. Kalian menyatakan bahwa mereka mengatasnamakan cinta, dan demi hal itu kalian rela mengorbankan segala apa yang ada pada diri mereka. Mulai dari harta dan biaya, masa, jiwa, bahkan nyawa. Kalian rela menghamburkan kehormatan kalian demi sesuap nikmatnya racun dunia.
            
Jika memang benar bahwa kalian melakukan segala hal nista tersebut atas nama cinta, yang pasti adalah dunia ini semakin menjadi tenteram. Karena setiap orang berlaku sesuai dengan kadar cintanya. Namun apa yang terjadi? Realisasi cinta yang kalian tawarkan dan kalian perlihatkan pada dunia ternyata hanya sebuah realisasi palsu para pengumbar hawa nafsu.
            
 
Ya, dunia ini yang dikatakan manis oleh para hedonis ternyata adalah dunia yang sangatlah pahit. Maksiat pacaran yang selama ini kalian umbar dan kalian hamburkan ternyata hanyalah sebuah bisa yang sangat mematikan. Yang kalian tawarkan sebagai obat, ternyata adalah sebuah virus, yang kalian katakan sebagai gula ternyata adalah sebuah racun yang berbahaya.
          
 
  Di dalam sejarah, tidak ada satu pun peristiwa yang dapat membenarkan perilaku keji yang bernama pacaran atau semacamnya. Datangkanlah salah satu bukti yang menjadikan pembenaran atas kelakuan bejad yang kalian lakukan! Bukti-bukti yang selama ini kalian paparkan adalah bukti-bukti yang tidak berdasar dan alas an kalian adalah alasan yang nyeleneh!
           
 
 Motivasi Pacaran #1: Motivasi Belajar
            Sebuah alas an yang sering kalian paparkan adalah pacaran sebagai motivasi belajar agar semangat kalian semakin besar dalam menuntut ilmu. Dan saya katakana bahwa hal ini sama sekali tidak benar!
           
 Semangat yang kalian miliki ketika belajar dalam kondisi pacaran adalah sebuah semangat yang palsu, semangat yang dibuat-buat, dan semangat semu yang dipaksakan. Kalau pun semangat kalian itu berkobar-kobar, maka ketahuilah! Bahwa sesungguhnya itu berarti anda telah masuk ke dalam jerat setan, anda tidak akan mampu memiliki semangat bila tidak memiliki pacar, dan hasilnya? Anda akan kecanduan pacaran. Karena tanpa pacar, anda akan menjadi rapuh dan lemah.
           
 
 Perhatikan langkah syaithan ini, anda telah ditipu oleh syaithan dengan perasaan cinta yang merupakan fitrah bagi seluruh manusia. Cinta yang anda miliki rupanya telah dipermainkan oleh hawa nafsu anda sendiri. Cinta yang seharusnya membuat anda kuat ternyata menjadikan anda lemah. Cinta yang semestinya membuat anda kokoh ternyata membuat anda rapuh. Cinta yang seharusnya menjadikan anda perkasa, ternyata membuat anda lemah tak berdaya.


Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta
bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta
bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat
-Hamka-


            Dan untuk anda yang berdalil bahwa pacaran itu mendorong semangat belajar maka saya tanya, apakah jika tanpa pacar anda tidak memiliki semangat belajar? Maka jika begitu saya katakan bahwa anda adalah orang yang lemah. Anda pacaran hanya demi mengejar perasaan yang semu.
             
 
Motivasi Pacaran #2: Mencari Jodoh
            Sebuah argumen yang konyol. Tidak ada lagikah yang lebih baik dari pacaran untuk mencari jodoh? Apakah setiap orang di dunia ini wajib pacaran dulu untuk menemukan jodohnya? Ini konyol!
            Jika kalian menganggap bahwa jodoh hanya bisa ditemukan lewat pacaran, maka kalian adalah yang jahil. Kalian jarang sekali mengambil pelajaran bagaimana orang yang mencari jodoh dengan pacaran akan tergelincir dalam satu hal: zina.
            
Dan satu hal lagi, jika kalian muslim maka perhatikanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan kita untuk menemukan jodoh masing-masing. Tidak perlu lewat pacaran yang menjual harga diri. Tapi dengan taaruf yang sangat menjaga martabat kita.
            Dan jika sudah bisa nikah, kenapa tidak langsung nikah jika sudah yakin dengan pilihannya? Karena nikah itu lebih menjaga kita dari berbagai keburukan zina.
             
Dalil-dalil Haramnya Pacaran


Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
(QS. Al-Israa: 32)


            Seorang yang pacaran sudah jelas memasuki koridor mendekati zina. Karena dengan pacaran itu berarti telah memudahkan langkah seseorang untuk berzina.


Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya
(HR Muslim)


            Mana mungkin seseorang yang pacaran tidak melakukan salah satu jenis zina yang disebut dalam hadits ini? Karena setiap orang yang pacaran minimal telah berzina dengan hatinya.
            Dan bila ada yang pacaran, sesungguhnya itu berarti ia sama sekali tidak menjaga dirinya dari zina. Karena orang yang pacaran telah melahap habis apa yang disebut dengan berbagai macam zina yang disebut dalam hadits ini.


Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.
(Muttafaqun ‘alaih)


            Sebuah dalil yang keras dan jelas dalam mengharamkan pacaran dalam bentuk berduaan.
            Wallahu a’lam

Saterdag 23 Maart 2013


SIKAP MENGHADAPI ORANG BODOH
اِذَا نَطَقَ السَّفِيْهُ وَتُجِيْبُهُ
فَخَيْرٌ مِنْ اِجَابَتِهِ السُّكُوْتُ
Apabila orang bodoh mengajak berdiskusi dengan anda, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi.

فَاِنْ كَلِمَتَهُ فَرَّجْتَ عَنْهُ
وَاِنْ خَلَّيْتُهُ كَمَدًا يَمُوْتُ
Apabila anda melayani, maka anda akan susah sendiri. Dan bila anda berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati.

قَالُوْا سَكَتَّ وَقَدْ خُوْصِمَتْ قُلْتُ لَهُمْ
اِنَّ  الْجَوَابَ لِبَابِ  الشَّرِ مِفْتَاحُ
Apabila ada orang bertanya kepadaku, “jika ditantang oleh musuh, apakah anda diam?” jawabku kepadanya, “Sesungguhnya untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu  ada kuncinya.”

وَالصُّمْتُ عَنْ  جَاهِلٍ  أَوْ  أَحْمَقٍ  شَرَفٌ
وَفِيْهِ  أَيْضًا لِصَوْنِ  الْعِرْضِ  اِصْلَاحُ
Sikap diam terhadap orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan.
أَمَا تَرَى الأُسْدَ  يُخْشَى وَهِيَ  صَامِتَةٌ
وَالكَلبُ يُخْسَى لَعَمْرِىْ  وَهُوَ  نَبَّاحُ
Apakah anda tidak melihat bahwa seekor singa itu ditakuti lantaran ia pendiam. Sedangkan seekor anjing dibuat permainan karena ia suka menggonggong.
**********

Syair Imam Syafi’i


عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ إِنْ كُنْتَ غَافِلاً          يَأْتِيْكَ بِالْأَرْزَاقِ مِنْ حَيْثُ لاَتَدْرِيْفَكَيْفَ

تَخَافُ الْفَقْرَ وَاللهُ رَازِقًا          فَقَدْ رَزَقَ الطَّيْرَ وَالْحُوْتَ فِى الْبَحْرِ

وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ الرِّزْقَ يَأْتِيْ بِقُوَّةٍ            مَا أَكَلَ الْعُصْفُوْرُ شَيْئًا مَعَ النَّسْرِتَزُوْلُ عَنِ الدُّنْيَا فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِيْ      إِذَا جَنَّ عَلَيْكَ اللَّيْلُ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِفَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ      وَكَمْ مِنْ سَقِيْمٍ عَاشَ حِيْنًا مِنَ الدَّهْرِ

وَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا    وَأَكْفَانُهُ فِى الْغَيْبِ تُنْسَجُ وَهْوَ لاَ يَدْرِيْ

فَمَنْ عَاشَ أَلْفًا وَأَلْفَيْنِ        فَلاَ بُدَّ مِنْ يَوْمٍ يَسِيْرُ إِلَى الْقَبْرِ

=+=
Bertakwalah kepada Allah jika kamu lalai
Niscaya Dia memberimu rezeki dari jalan yang tidak kamu ketahui
Bagaimana kamu takut kefakiran padahal Allah pemberi rezeki
Dia memberi rezeki kepada burung dan ikan di laut bahari
Barangsiapa menyangka bahwa kekuatan mendatangkan rezeki
Tentu burung pipit kalah dengan burung elang tidak mendapat rezeki
Kamu pasti akan meninggalkan dunia dan kamu tidak mengetahui
Apabila malam tiba apakah kamu akan tetap hidup sampai besok pagi
Berapa banyak orang sehat yang meninggal tanpa sakit lagi
Berapa banyak orang sakit yang tetap hidup bertahun-tahun lagi
Berapa banyak anak muda yang tertawa-tawa ketika sore dan pagi
Padahal kain kafannya sedang dijahit sedang dia tidak menyadari
Barangsiapa dapat hidup seribu atau dua ribu tahun lagi
Ia akan mendatangi kubur dan itu sudah pasti