Antara Taklid dan ‘Ittiba’…..
25 11 2007
Asy-syinqithi rahimahullah berkata :
“Ketahuilah
bahwa suatu hal yang patut untuk diketahui adalah perbedaan antara
taklid dan ittiba’. Tidak boleh bertaklid dalam hal hal yang
mengharuskan ittiba’ .”
Penjelasannya,
bahwa tidak boleh bertaklid dalam setiap hukum yang memiliki dasar yang
jelas dari Al quran, Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
atau ijma’. Sebab setiap ijtihad yang bertentangan denagn nash syar’i
adalah ijtihad bathil, dan tidak boleh melakukan taklid kecuali pada
permasalahan yang dibolehkan untuk berijtihad. Karena Al Quran dan As
Sunnah adalah hakim atas setiap mujtahid. Tidak seorangpun dari mereka
yang boleh menyelisihi Al Quran dan As Sunnah.
Tidak
boleh bertaklid pada pendapat yang bertentangan dengan Al Quran, As
Sunnah, atau ijma’ ulama. Sebab tidak boleh mengikuti selain yang haq.
Tidak ada suatu masalah yang ada petunjuknya dari nash kecuali wajib
untuk di ikuti. Tidak ada ijtihad dan taklid dalam perkara yang ada
nashnya dari Al Quran dan As Sunnah, yang tidak bertentangan dengan nash
lainnya.
Perbedaan
antara taklid dan ittiba’ adalah perkara yang sudah dimaklumi di
kalangan ulama. Tiada seorang ulamapun berselisih dalam menentukan
maknanya.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukil ucapan Ibnu khuwaiz Mandad dalam kitab Jami’ nya. Beliau mengatakan, taklid menurut pengertian syari’at adalah mengikuti pendapat yang tidak memiliki hujjah atau dalil. Dan ini adalah perbuatan yang dilarang dalam syari’at. Adapun itibba’ adalah mengikuti pendapat yang memiliki dasar dalil.
Pada tempat lain dalam bukunya beliau berkata “Setiap
pendapat yang kamu ikuti tanpa ada landasan dalil, berarti kamu telah
melakukan taklid dan taklid dalam agama Allah ta’ala adalah perbuatan
yang tidak benar. Setiap pendapat yang kamu ikuti karena ada dalil yang
mewajibkannya, berarti kamu melakukan ittiba’. Itibba’ dalam agama
diperbolehkan, sedangkan taklid adalah perbuatan yang dilarang.”
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam I’lam Al-muwaqi’in :
Imam Ahmad rahimahullah
membedakan antara taklid dan ittiba’. Abu Dawud berkata “Aku pernah
mendengar Ahmad berkata, Itiiba’ adalah seseorang yang mengikuti apa
yang berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dan dari para
sahabatnya. Adapun tabi’in boleh di ikuti dan boleh juga tidak”
Ibnu
Qayyim melanjutkan, adapaun beramal dengan wahyu disebut ittiba bukan
taklid, dan ini perkara yang sudah dapat dipastikan. Banyak sekali ayat
yang menamakannya sebagai ittiba’, seperti Firman Allahu ta’ala berikut
ini :
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya . Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya).
(Al A’raf :3)
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik (Al An’am : 106)
dan ayat ayat semisal ini cukup banyak dan sudah dikenal.
Jadi beramal dengan wahyu disebut ittiba’ sebagaimana telah ditunjukkan oleh ayat ayat diatas.
Seperti
sudah diketahui dan tidak disangsikan lagi bahwa mengikuti wahyu yang
diperintahkan dalam ayat ayat tersebut mengandung arti bahwa ijtihad
tidak sah jika bertentangan denganwahyu tersebut. Dan tidak boleh pula
bertaklid dengan sesuatu yang jelas bertentangan dengannya.
Jelaslah sudah perbedaan antara ittiba’ dan taklid, tidak boleh melakukan ijtihad dan taklid pada permasalahan ittiba.
Oleh karena itu nash nash yang shohih yang menunjukkan dengan jelas
tentang hukum suatu masalah dan tidak bertentangan dengan nash nash
lainnya, sama sekali tidak boleh disertai dengan ijtihad dan taklid.
Sebab, sebagaimana sudah dimaklumi, mengikuti dan menaati nash tersebut
hukumnya wajib atas setiap orang, siapapun orangnya.
Dengan demikian kita tahu bahwa syarat syarat mujtahid yang ditetapkan ahli ushul hanyalah disyaratkan untuk ijtihad.
Sementara perkara ittiba bukanlah perkara ijtihad. Menjadikan syarat
syarat mujtahid untuk pelaku ittiba’ adalah suatu kerancuan. Karena
sebagaimana kita lihat, terdapat perbedaan yang mencolok antara ijtihad
dan ittiba. Lagi pula objek ittiba tidak sama dengan objek ijtihad.
Kesimpulan akhirnya bahwa ittiba wahyu tidak disyaratkan apapun kecuali mengetahui apa yang diamalkannya dari wahyu yang diikutinya.
Oleh karena itu ia boleh mengetahui hadits dan mengamalkannya, serta
mengetahui ayat dan mengamalkannya. Untuk mengamalkan itu semua tidak
perlu harus memenuhi semua syarat syarat ijtihad (yang ditetapkan oleh
ahli ushul).
Dengan
demikian, setiap mukallaf (oraang yang sudah terbebani hukum syar’i)
wajib mempelajari Al Quran dan as Sunnah untuk suatu amalan yang
dibutuhkan lantas mempraktekkannya sesuai dengan pengetahuan yang telah
dikuasainya, sebagaimana telah dilakukan oleh generasi awal terbaik
ummat ini.
Allahu a’lam
Disalin
dari Shahih Fiqh Sunnah jilid I ,oleh Abu Malik Kamal bin As Sayyid
Salim, terbitan Pustaka At Tazkia,,2006 hal 81-84 ( dengan penyesuaian )
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking