“ketika wajah ini penat memikirkan dunia,maka berwuduklah..
ketika tangan ini letih menggapai cita-cita,maka berdoalah..
ketika bahu tak kuasa memikul amanah,maka bersujudlah.
ikhlaskan semuanya dan dekatlah Allah s.w.t.
agar tunduk disaat yang lain angkuh.
agar teguh disaat yang lain runtuh.
agar tegar disaat yang lain terlempar.
agar tenang disaat yang lain risau memikirkannya..”
Assalamualaikum
wahai bakal penghuni syurga yang insya Allah akan menemuiNya dengan
penuh cahaya kebanggaan..Apa khabar iman para mujahid?Dan apa khabar
jiwa-jiwa bidadari syurga?Alhamdulillah..lakarkan
kesyukuran kita semua pada hadrat illahi..di sini kita dapat
bersama,menikmati lagi curahan ilmu yang dapat sedikit sebanyak ana
kongsikan sebagai hamba yang dhaif..Tentu sahabat-sahabat bertanya-tanya..ada apa dengan tajuk tu? Terus terang ana katakan.tajuk
itu memeberi seribu satu persoalan dan jawapan bagi kita..
Ku biar kalam
berbicara..menghurai maksud dijiwa.agar mudah ku mengerti,segala yang
terjadi..sudah suratan illahi..ana ingin bicara tentang SYURGA!
Menelusuri
perjalanan dalam meraih redhaNya..pernahkah anda menangis? Jatuh
terduduk menangis hiba? Difitnah? Dimaki? Dan kadang-kadang anda
merasakan anda langsung tak layak untukNya,,?Wahai mujahid dan mujahidah
yang selalu ana rindukan..
Coba anda renung kisah ini..moga jadi penenang luka dihati dalam menghadapi lelah di jalan dakwah…moga Allah kasih..
Ustadz,
dulu ana merasa semangat dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin
hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak
pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murabbinya
di suatu malam.
Sang
murabbi hanya terdiam, mencuba terus menggali semua kecamuk dalam diri
mad’unya. “Lalu, apa yang ingin …antum lakukan setelah merasakan semua
itu?” sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.
“Ana
ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan
perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan
organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana sendiri saja…” jawab mad’u itu.
Sang
murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman
wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang
sudah diketahuinya sejak awal.
“Akhi,
bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal
itu ternyata sudah amat rapuh. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak
yang reput bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan
antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?” tanya sang murabbi dengan
kiasan bermakna dalam.
Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
“Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?” sang murabbi mencuba memberi kata.
“Bila
antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau
kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan
ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk
berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan ganas datang? Darimana antum
mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi
hawa dingin?” serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad’u.
Tak
ayal, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan
kegundahan sedemikian. Kekecewaannya memuncak, namun sang murabbi yang
dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan
keinginannya.
“Akhi,
apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling
utama menuju ridho Allah?” Pertanyaa ini menghujani jiwa sang mad’u. Ia
hanya mengangguk.
“Bagaimana
bila ternyata kereta yang antum pandu dalam menempuh jalan itu temyata
rosak? Antum akan berjalan kaki meninggalkan kereta itu tersadai di
jalan, atau mencuba memperbaikinya?” tanya sang murabbi lagi.
Sang mad’u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba
ia mengangkat tangannya, “Cukup ustadz, cukup. Ana sedar. Maafkan ana.
Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat mendapat
penghormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan…”
“Biarlah
yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan
dalam dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak
dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi
pelebur dosa-dosa ana”, sang mad’u berazzam di hadapan murabbi yang
semakin dihormatinya.
Sang
murabbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka
adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik
kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka
adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah.
Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan
Allah.”
“Bila
ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu
mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa
manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum
dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di
mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.”
“,
mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang
masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan
jalan itu, maka bilakah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?”
sambungnya panjang lebar.
“Kita
bukan sekadar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai
menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafi rpun bisa
melakukannya. Tapi kita adalah da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang
diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi.
Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing
masalah.”
“Jangan
sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang
tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang
membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!”
Sang
mad’u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang
kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
“Tapi
bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kedudukan ana
yang lemah ini?” sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
“Siapa
bilang kedudukan antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada
antum? Semua manusia punya kemampuan yang berbeda. Namun tidak ada yang
bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!” sahut sang
murabbi.
“Bekerjalah
dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih
sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena
peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isu atau
gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil
(dengki, benci, iri hati) antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan
itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.”
Suasana
dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan
akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad’u
bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk
membangunkan beberapa mad’unya yang lain dari asyik tidurnya.
Malam
itu, sang mad’u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap
berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan
diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan dari Antum/antunna yang
membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap istiqamah di jalan dakwah
ini..Dalam samudera tarbiyah ini..
Sobat fillah..ada atau tidaknya kita dalam menegakan kalimat Allah, kalimat Allah akan selalu di tegakan oleh sebagian orang. di saat yang lain lalai, di saat yang lain acuh, di saat yang lain sibuk mencari dan menggali kesalahn dan aib saudaranya, di saat yang lain lebih menikmati mudanya dengan kenikmatan dunia. ingatlah di situ pula ada sekelompok pemuda yang selalu ingat, yang selalu cinta, selalu peduli dengan perjalanan dakwah yang penuh kerikil dan duri, yang di hiasi panas dan letih.
Allahuakbar! Kerana kita perindu SYURGA!...wassalam dariqbal rayhan
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking