I am a Moslem
Dan siapakah yang lebih baik daripada orang yang menyeru kejalan Allah dan beramal shaleh serta mengatakan: “sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim”
Saya adalah seorang MUSLIM.
Itulah kalimat yang muncul ketika mencoba bertanya akal lemah saya
kepada hati yang bergitu ‘perkasa’ tentang siapa saya. Yes, I am a
Moslem. Islam adalah jalan hidup saya. Alasannya sederhana bila
dituliskan, namun bermakna dalam ketika direnungkan, yakni saya ingin
menjadi orang yang lebih baik dimata Allah SWT. Bukankah telah jelas
ayat yang saya kutip di atas. QS. Fushshilat: 33, menunjukkan kepada
kita, bahwa tak ada yang lebih baik dari orang-orang yang berada dalam
islam, tak ada yang lebih baik dari seorang muslim.
Telah cukup masa pencarian
jati diri yang dahulu saya lakukan. Telah berakhir masa ketika kapal
kehidupan yang saya naiki tidaklah bernahkoda, kini jati diri itu telah
saya temukan, kapal kehidupan pun telah memiliki nahkodanya. Semua telah
jelas bahwa saya adalah muslim. Muslim bukan hanya sekedar identitas
yang tertulis pada kartu identitas diri, tercantum pada akte kelahiran.
Bukan juga karena terlahir didalam keluarga yang sedari awal telah
memeluk Islam. Namun muslim yang mengetahui tentang hakikat penciptaanya
ke dunia, muslim yang mengetahui misi utamanya berada di dunia yang
fana ini.
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (al-Dzariyat: 56)
Sebagai muslim jelaslah
bahwa saya diutus bukanlah untuk bermain-main, bukan pula untuk
bersantai, bukan juga sebatas bersendagurau, melainkan untuk beribadah
kepada Sang Pencipta. Kita harus sama-sama mengingat bahwa konteks
ibadah dalam ayat diatas tidaklah sempit, namun begitu luas. Tidaklah
terbatas hanya sholat, puasa, membaca Alqur’an, naik haji dan lain
sebagainya. Ketika kita meniatkan pekerjaan yang berorientasi utama
dunia untuk akhirat kita, itu pun adalah ibadah. Itu berarti bekerjanya
kita, belajarnya kita, beraktifitasnya kita dapat bernilai ibadah
disis-Nya bila memang diniatkan untuk ibadah. Label Muslim tak hanya
melekat saat dimasjid saja, namun ketika berjalan di atas muka bumi,
ketika bertutur kata di depan khalayak ramai, bakhan ketika sendiri
didalam kesunyian, saya berusaha tetap menjadi seorang muslim.
Saya adalah manusia yang
sulit (lebih teptnya tidak mau) untuk memisahkan antara urusan dunia
dengan akhirat. Sulit memisahkan antara dunia dengan Islam. Sempat heran
diri ini saat melihat begitu banyak karib kerabat, sahabat dan teman
diluar sana yang dapat memisahkan antara dunia dengan dien
(agama)-nya. Seakan-akan mereka adalah orang yang memiliki keistimewaan
khusus untuk masuk kedalam surga ‘tanpa hambatan’. Atau mereka yang
masih ingat tentang agamanya di dunia ini, namun memisahkannya dari
urusan yang ia miliki, baik dalam berpolitik, berhukum, bernegara,
berpendidikan dan lain sebagainya. Seakan menjadikan Tuhan hanya berada
pada masjid saja. Atau mereka yang sama sekali tidak percaya terhadap
tuhannya, atheis. Tidak percaya ada zat yang menciptakannya,
yakni Allah SWT -semoga mereka diberikan hidayah oleh Allah kepada
islam. Tidakkah mereka berfikir setiap ada yang diciptakan pasti ada
yang menciptakan. Sungguh saya menganggp mereka belum menjadi ‘manusia
yang sesungguhnya’.
Menjadi seorang muslim
adalah hal yang paling berharga dalam hidup saya. Nikmat tertinggi yang
saya dapatkan di dunia. Tersenyum lisan ini, bermekaran bunga dihati ini
saat membaca firman Allah:
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai agamamu…” (QS Al-Maa-idah: 3)
Bagaimana tidak, inilah kenikmatan
tertinggi yang saya rasakan, menjadi seorang muslim. Menjadi seorang
muslim berarti menjadi seorang yang diridhai Allah, seorang yang berada
dalam agama yang diridhai Allah. Apa lagi yang akan kita cari selain
keridhaan Sang Pencipta?
Tentunya masih jauh diri
saya dari kesempurnaan. Masih sering diri yang lemah ini berbuat dosa.
Masih banyak kebaikan-kebaikan yang belum terlaksana, namun satu hal
yang utama yang saya banggakan, saya telah mengetahui siapa diri saya
sebenarnya. Disaat banyak dari yang lain masih terombang-ambing dalam
kehidupan dunianya. Saat yang lain sibuk mengurus sesuatu yang bukan
kewajibannya, namun kewajibannya –beribadah pada Allah- ia lalaikan.
Saya telah mengetahui bahwa saya adalah seorang muslim. Bukan seorang
muslim yang sempurna memang, tetapi mencoba untuk sempurna. Bukan pula
seorang muslim yang telah menyeluruh memegang islam, namun muslim yang
berusaha untuk menyeluruh. Bukan juga muslim yang tanpa dosa dan salah,
namun muslim yang berusaha menghindari dosa dan kesalahan. Sampai kelak,
mati dalam keadaan memegang erat agama ini lebih saya cintai dari dunia
dan seisisnya.
Saksikanlah bahwa saya adalah seorang muslim.
Memegang islam adalah harga mati. Menjalankan sunnah Muhammad saw.
adalah keharusan. Biarkanlah orang lain berbicara miring tentang saya,
biarlah orang lain menghina dengan lisan mereka yang ‘suci’, menghina
sunnah yang coba saya terapkan pada diri saya. ‘Pujian’ dengan kalimat
“hai kambing” karena saya memelihara jenggot misalnya, atau disebut
“orang kebanjiran” karena menggunakan celana ‘ngatung’ (la isbal).
Semua berusaha tidak saya hiraukan karena saya yakin berada diatas
kebenaran. Bukankah kalau sudah cinta apapun akan kita lakukan?
Terlanjur cinta diri ini terhadap Allah dan Rasul-Nya sehingga apapun
perintah Allah dan Rasulullah akan berusaha saya laksanakan, apa yang
dilarang akan berusaha saya tinggalkan, tanpa terlebih dahulu memikirkan
apa esensi dari perintah maupun larangan tersebut, tanpa lebih dahulu
memikirkan apa profit dari amalan itu. Yang saya tahu hanya
satu, apapun yang Allah dan Rasulullah perintahkan adalah kebaikan dan
yang Allah dan Rasulullah larang adalah keburukan.
Saksikanlah bahwa saya adalah seorang muslim,
yang bertuhan satu, Allah SWT. yang menjadikan Muhammad saw. sebagai
teladan utama didunia. Yang menjadikan Al-Qur’an dan hadits yang shohih
sebagai rujukan utama dari begitu banyak ‘kitab’ yang ada didunia.
Al-Qur’an saya letakkan dalam hati bukan hanya tertulis dilembar-lembar
kertas yang dibukukan. Yang bercita-cita untuk mati dalam keadaan Syahid Fi Sabilillah (mati dijalan Allah).
Salam Ukhuwah.
-Akhukum Iqbal-
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking