Vrydag 17 Mei 2013

I am a Moslem


Dan siapakah yang lebih baik daripada orang yang menyeru kejalan Allah dan beramal shaleh serta mengatakan: “sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim”
          

  Saya adalah seorang MUSLIM. Itulah kalimat yang muncul ketika mencoba bertanya akal lemah saya kepada hati yang bergitu ‘perkasa’ tentang siapa saya. Yes, I am a Moslem. Islam adalah jalan hidup saya. Alasannya sederhana bila dituliskan, namun bermakna dalam ketika direnungkan, yakni saya ingin menjadi orang yang lebih baik dimata Allah SWT. Bukankah telah jelas ayat yang saya kutip di atas. QS. Fushshilat: 33, menunjukkan kepada kita, bahwa tak ada yang lebih baik dari orang-orang yang berada dalam islam, tak ada yang lebih baik dari seorang muslim.
         
          
  Telah cukup masa pencarian jati diri yang dahulu saya lakukan. Telah berakhir masa ketika kapal kehidupan yang saya naiki tidaklah bernahkoda, kini jati diri itu telah saya temukan, kapal kehidupan pun telah memiliki nahkodanya. Semua telah jelas bahwa saya adalah muslim. Muslim bukan hanya sekedar identitas yang tertulis pada kartu identitas diri, tercantum pada akte kelahiran. Bukan juga karena terlahir didalam keluarga yang sedari awal telah memeluk Islam. Namun muslim yang mengetahui tentang hakikat penciptaanya ke dunia, muslim yang mengetahui misi utamanya berada di dunia yang fana ini.

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (al-Dzariyat: 56)
           
 Sebagai muslim jelaslah bahwa saya diutus bukanlah untuk bermain-main, bukan pula untuk bersantai, bukan juga sebatas bersendagurau, melainkan untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Kita harus sama-sama mengingat bahwa konteks ibadah dalam ayat diatas tidaklah sempit, namun begitu luas. Tidaklah terbatas hanya sholat, puasa, membaca Alqur’an, naik haji dan lain sebagainya. Ketika kita meniatkan pekerjaan yang berorientasi utama dunia untuk akhirat kita, itu pun adalah ibadah. Itu berarti bekerjanya kita, belajarnya kita, beraktifitasnya kita dapat bernilai ibadah disis-Nya bila memang diniatkan untuk ibadah. Label Muslim tak hanya melekat saat dimasjid saja, namun ketika berjalan di atas muka bumi, ketika bertutur kata di depan khalayak ramai, bakhan ketika sendiri didalam kesunyian, saya berusaha tetap menjadi seorang muslim.
           

 Saya adalah manusia yang sulit (lebih teptnya tidak mau) untuk memisahkan antara urusan dunia dengan akhirat. Sulit memisahkan antara dunia dengan Islam. Sempat heran diri ini saat melihat begitu banyak karib kerabat, sahabat dan teman diluar sana yang dapat memisahkan antara dunia dengan dien (agama)-nya. Seakan-akan mereka adalah orang yang memiliki keistimewaan khusus untuk masuk kedalam surga ‘tanpa hambatan’. Atau mereka yang masih ingat tentang agamanya di dunia ini, namun memisahkannya dari urusan yang ia miliki, baik dalam berpolitik, berhukum, bernegara, berpendidikan dan lain sebagainya. Seakan menjadikan Tuhan hanya berada pada masjid saja. Atau mereka yang sama sekali tidak percaya terhadap tuhannya, atheis. Tidak percaya ada zat yang menciptakannya, yakni Allah SWT -semoga mereka diberikan hidayah oleh Allah kepada islam. Tidakkah mereka berfikir setiap ada yang diciptakan pasti ada yang menciptakan. Sungguh saya menganggp mereka belum menjadi ‘manusia yang sesungguhnya’.
            

Menjadi seorang muslim adalah hal yang paling berharga dalam hidup saya. Nikmat tertinggi yang saya dapatkan di dunia. Tersenyum lisan ini, bermekaran bunga dihati ini saat membaca firman Allah:
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai agamamu…” (QS Al-Maa-idah: 3)

Bagaimana tidak, inilah kenikmatan tertinggi yang saya rasakan, menjadi seorang muslim. Menjadi seorang muslim berarti menjadi seorang yang diridhai Allah, seorang yang berada dalam agama yang diridhai Allah. Apa lagi yang akan kita cari selain keridhaan Sang Pencipta?
            
Tentunya masih jauh diri saya dari kesempurnaan. Masih sering diri yang lemah ini berbuat dosa. Masih banyak kebaikan-kebaikan yang belum terlaksana, namun satu hal yang utama yang saya banggakan, saya telah mengetahui siapa diri saya sebenarnya. Disaat banyak dari yang lain masih terombang-ambing dalam kehidupan dunianya. Saat yang lain sibuk mengurus sesuatu yang bukan kewajibannya, namun kewajibannya –beribadah pada Allah- ia lalaikan. Saya telah mengetahui bahwa saya adalah seorang muslim. Bukan seorang muslim yang sempurna memang, tetapi mencoba untuk sempurna. Bukan pula seorang muslim yang telah menyeluruh memegang islam, namun muslim yang berusaha untuk menyeluruh. Bukan juga muslim yang tanpa dosa dan salah, namun muslim yang berusaha menghindari dosa dan kesalahan. Sampai kelak, mati dalam keadaan memegang erat agama ini lebih saya cintai dari dunia dan seisisnya.
           

 Saksikanlah bahwa saya adalah seorang muslim. Memegang islam adalah harga mati. Menjalankan sunnah Muhammad saw. adalah keharusan. Biarkanlah orang lain berbicara miring tentang saya, biarlah orang lain menghina dengan lisan mereka yang ‘suci’, menghina sunnah yang coba saya terapkan pada diri saya. ‘Pujian’ dengan kalimat “hai kambing” karena saya memelihara jenggot misalnya, atau disebut “orang kebanjiran” karena menggunakan celana ‘ngatung’ (la isbal). Semua berusaha tidak saya hiraukan karena saya yakin berada diatas kebenaran. Bukankah kalau sudah cinta apapun akan kita lakukan? Terlanjur cinta diri ini terhadap Allah dan Rasul-Nya sehingga apapun perintah Allah dan Rasulullah akan berusaha saya laksanakan, apa yang dilarang akan berusaha saya tinggalkan, tanpa terlebih dahulu memikirkan apa esensi dari perintah maupun larangan tersebut, tanpa lebih dahulu memikirkan apa profit dari amalan itu. Yang saya tahu hanya satu, apapun yang Allah dan Rasulullah perintahkan adalah kebaikan dan yang Allah dan Rasulullah larang adalah keburukan.
            

Saksikanlah bahwa saya adalah seorang muslim, yang bertuhan satu, Allah SWT. yang menjadikan Muhammad saw. sebagai teladan utama didunia. Yang menjadikan Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagai rujukan utama dari begitu banyak ‘kitab’ yang ada didunia. Al-Qur’an saya letakkan dalam hati bukan hanya tertulis dilembar-lembar kertas yang dibukukan. Yang bercita-cita untuk mati dalam keadaan Syahid Fi Sabilillah (mati dijalan Allah). 

Salam Ukhuwah.

-Akhukum Iqbal-

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking